Opini  

Hari Kesaktian Pancasila, Luka yang Terbuka di Boalemo

Ilustrasi
Penulis: Nanang Syawal

Poota.id, Opini – Setiap 1 Oktober, bangsa ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah momen sakral yang selalu kita banggakan sebagai penegasan bahwa Pancasila adalah dasar, jiwa, dan arah bernegara. Namun, di Kabupaten Boalemo, semangat ini terasa seperti nyanyian hampa yang kehilangan makna.

Pancasila mengajarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Tetapi apakah kelima sila itu benar-benar hadir di tengah rakyat Boalemo hari ini?

Ketuhanan Yang Maha Esa:
Pemimpin menangis di panggung, menyebut masih banyak rakyat miskin, sementara di belakang layar ada proyek-proyek hibah miliaran rupiah ke aparat penegak hukum, ke polres, kodim, hingga kejaksaan. Apakah ini wujud takwa, atau sekadar topeng religiusitas di hadapan kamera?

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
Saat pandemi, ada anggota DPRD yang justru berpesta narkoba dan kemudian hanya mendapat “rehabilitasi” tanpa putusan pengadilan. Rakyat biasa, jika terjerat kasus serupa, dihantam vonis berat. Di mana letak keadilan dan peradaban itu?

Baca Juga :  YAHUDI, SANKSI SOSIAL DAN MIGRASI

Persatuan Indonesia:
Di atas kertas, pemimpin menyeru persatuan. Namun faktanya, kekuasaan justru dibagi dalam kelompok-kelompok kepentingan. Rakyat dipisahkan antara yang “pro” dan “kontra” terhadap kebijakan yang sarat kepentingan pribadi. Persatuan yang dipertontonkan hanyalah ilusi yang dipoles baliho.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan:
Lembaga DPRD Boalemo, yang seharusnya menjadi rumah rakyat, justru dicoreng dengan dugaan perjalanan dinas fiktif dan pemborosan anggaran. Bukannya menyuarakan kepentingan masyarakat, justru menjadi bagian dari elit yang sibuk mengamankan kursi dan kepentingan diri.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:
Rakyat masih miskin, harga beras melambung, dan temuan BPK menunjukkan anggaran daerah dipakai tanpa rasa tanggung jawab. Lalu para pejabat berdiri gagah, seolah-olah mereka “paling Pancasilais”. Adakah keadilan sosial di situ? Atau Pancasila hanya dipakai sebagai dekorasi peringatan tiap 1 Oktober?

Baca Juga :  Menulis Adalah Bagian Dari Perlawanan Yang Efektif Dan Efisien Di Era Globalisasi

Hari Kesaktian Pancasila di Boalemo mestinya menjadi hari introspeksi, bukan sekadar upacara. Pancasila seharusnya hidup di setiap kebijakan, bukan jadi jargon untuk menutupi kerakusan. Jika benar kita mengimani kesaktiannya, maka pemimpin Boalemo mesti berani jujur, aparat penegak hukum harus tegak lurus, dan DPRD harus bersih dari korupsi.

Karena tanpa itu semua, peringatan 1 Oktober hanyalah sebuah parodi—di mana Pancasila diagungkan di podium, tetapi diinjak-injak di ruang-ruang kekuasaan.

Terimakasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *