Opini  

Di Antara Bukit Gundul dan Perut yang Lapar: Dilema Ekologis di Boalemo

Oleh: Mohammad Syarief Evansyah

Poota.id, Opini – Bencana longsor yang baru-baru ini terjadi di perbatasan antara Desa Lamu Kecamatan Tilamuta dan Desa Potanga Kecamatan Botumoito, Kabupaten Boalemo, adalah alarm keras bagi kita semua. Peristiwa ini tidak bisa dipandang semata sebagai gejala alam. Sebaliknya, ini adalah konsekuensi dari pola hubungan kita dengan lingkungan yang semakin timpang.

Lereng gunung yang mulai digunduli untuk dijadikan lahan kebun, hanya menyisakan semak belukar sebagai sisa-sisa hutan yang dulu tegak dan rimbun. Kini, tanah menjadi rapuh, dan nyawa kembali dipertaruhkan setiap musim hujan tiba.

Sebagai penulis, saya dilanda kegelisahan yang belum menemukan jawaban bahwa mana yang harus kita dahulukan? Apakah ekonomi masyarakat atau kelestarian alam?

Di satu sisi, saya paham benar bahwa banyak warga menggantungkan hidupnya dari tanah itu. Membuka lahan berarti membuka peluang untuk makan, untuk menyekolahkan anak, untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi yang kian menghimpit.

Baca Juga :  MASA KERJA "EFEKTIF" KEPALA DAERAH HANYA 17 BULAN

Tapi di sisi lain, saya juga menyaksikan bahwa hutan yang ditebang bukan hanya pohon yang hilang, itu juga berarti hilangnya sistem penyangga alam yang melindungi desa dari longsor dan banjir.

Inilah dilema ekologis yang nyata. Kita berbicara tentang dua kepentingan yang sama-sama mendesak, yakni kebutuhan hidup hari ini dan keberlangsungan hidup esok hari. Pilihan antara memperbolehkan lahan dibuka demi pangan atau mempertahankan hutan demi keselamatan. Keduanya penting. Tapi adakah jalan tengah yang benar-benar adil?

Jawaban ini tidak bisa diletakkan di pundak masyarakat semata. Mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan dengan sumber daya yang terbatas. Maka, negara harus hadir. Pemerintah harus serius menyediakan alternatif ekonomi yang tidak merusak lingkungan baik melalui program agroforestri, pertanian berkelanjutan, maupun pemberdayaan ekonomi yang berbasis konservasi.

Regulasi tata guna lahan harus ditegakkan, bukan hanya dituliskan. Kawasan yang rawan longsor tidak bisa lagi dikompromikan. Rehabilitasi lahan bukan sekadar proyek tahunan, melainkan misi jangka panjang yang melibatkan pendidikan, pendampingan, dan konsistensi anggaran.

Baca Juga :  Lari dari Kemiskinan: Dari Jalan Maraton Menuju Jalan Baru Ekonomi Lokal

Bila tidak, maka kita akan terus mengulang kesalahan yang sama. Setiap musim hujan akan menjadi musim tangis. Setiap tebing yang runtuh adalah pengingat bahwa kita sedang membayar mahal atas pilihan-pilihan yang abai terhadap keseimbangan.

Akhirnya, kita harus sadar bahwa membela alam bukanlah menolak kesejahteraan. Justru di sanalah kesejahteraan yang sejati akan tumbuh pada tanah yang lestari, air yang bersih, dan langit yang tak murung. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *