Penulis: Fadli Thalib
Poota.id, Boalemo – Dugaan perjalanan dinas (perdis) fiktif yang menyeret nama sejumlah anggota DPRD Boalemo kini tengah berproses hukum di Kejaksaan Negeri Boalemo. Proses hukum ini menjadi sorotan publik karena kasus tersebut bukan hanya soal angka rupiah yang lenyap tanpa pertanggungjawaban, tetapi juga sebuah tamparan keras bagi akal sehat masyarakat. Jika benar terbukti, maka apa yang terjadi di tubuh DPRD Boalemo adalah contoh paling dekat tentang bagaimana uang negara yang bersumber dari keringat rakyat dirampok melalui modus “rapi” dan terstruktur.
Perjalanan dinas adalah instrumen penting dalam mendukung kinerja wakil rakyat. Melalui agenda resmi ke luar daerah, DPRD diharapkan menyerap aspirasi, menimba pengalaman, serta memperjuangkan kepentingan daerah di level yang lebih tinggi. Namun, ketika perdis yang semestinya mendukung tugas konstitusional justru dimanipulasi menjadi fiktif, maka ia berubah menjadi mesin korupsi yang merugikan daerah.
Uang yang seharusnya kembali dalam bentuk kebijakan dan hasil perjuangan untuk rakyat justru masuk ke kantong pribadi. Jika dugaan ini benar, maka DPRD Boalemo sedang menulis babak kelam dalam sejarah moralitasnya.
Etika dan Moral DPRD
Wakil rakyat adalah representasi kehendak rakyat. Mereka dipilih melalui proses demokrasi, diamanahkan dengan sumpah jabatan, dan diberi fasilitas negara untuk memperjuangkan kepentingan konstituen. Namun, praktik perdis fiktif, jika terbukti, menunjukkan bahwa sebagian oknum anggota DPRD telah menukar sumpahnya dengan amplop pertanggungjawaban kosong.
Etika politik menuntut bahwa setiap kebijakan, tindakan, bahkan pengeluaran uang negara harus berpihak pada kepentingan rakyat. Tetapi dugaan perdis fiktif menegaskan adanya pergeseran nilai, dari amanah menjadi kerakusan, dari pengabdian menjadi perampokan, dari kehormatan menjadi aib.
Moralitas publik DPRD seharusnya dijaga dengan disiplin tinggi, sebab mereka adalah figur panutan. Bagaimana mungkin DPRD Boalemo bisa bersuara lantang mengkritisi eksekutif jika di internal mereka sendiri tercium aroma busuk perampokan uang rakyat?
TGR Makan Minum Pimpinan DPRD Boalemo, Benang Merah Dugaan Manipulasi?
Satu isu yang tak kalah hangat adalah Tuntutan Ganti Rugi (TGR) makan minum pimpinan DPRD Boalemo tahun 2019-2024. Publik menduga bahwa TGR ini tidak berdiri sendiri, melainkan dijadikan instrumen untuk menutupi kerugian negara akibat perdis fiktif.
Jika benar dugaan itu, maka persoalan ini menjadi berlapis. Pertama, ada dugaan korupsi perdis fiktif. Kedua, ada potensi manipulasi pembayaran TGR untuk menutupinya. Pola semacam ini memperlihatkan bahwa praktik korupsi di daerah bukan lagi tindakan individu, tetapi sudah seperti sistem yang saling menopang.
TGR seharusnya menjadi instrumen pemulihan kerugian negara. Tetapi jika ia justru dimanipulasi untuk menutup kejahatan yang lebih besar, maka fungsi kontrol dan penegakan akuntabilitas berubah menjadi sekadar kosmetik. Rakyat Boalemo tentu berhak marah, sebab uang makan minum yang semestinya mendukung aktivitas kelembagaan malah ditarik paksa untuk melapisi borok perdis fiktif.
DPRD Boalemo dan Krisis Kepercayaan
Kehormatan DPRD tidak ditentukan oleh kursi empuk, gedung megah, atau anggaran miliaran rupiah. Kehormatan itu lahir dari seberapa besar mereka menjaga integritas dalam menjalankan mandat rakyat. Ketika isu perdis fiktif dan TGR manipulatif ini mencuat, maka kepercayaan publik semakin tergerus.
Masyarakat Boalemo kini bertanya-tanya, apakah benar wakil mereka bekerja demi rakyat, atau hanya memperjuangkan kesejahteraan pribadi? Bagaimana mungkin DPRD menutup mata pada penderitaan rakyat, sementara mereka sibuk mencari celah untuk mengakali uang negara?
Krisis kepercayaan ini berbahaya. Demokrasi lokal hanya bisa berjalan sehat jika ada kepercayaan antara rakyat dan wakilnya. Jika DPRD Boalemo gagal menjaga kepercayaan itu, maka legitimasi moral mereka akan runtuh, meski secara legal masih duduk di kursi legislatif.
Perdis Fiktif Cermin Dekat Perampokan Uang Negara?
Menyebut dugaan perdis fiktif sebagai perampokan uang negara bukanlah hiperbola. Uang negara bersumber dari pajak, retribusi, serta transfer pusat yang pada akhirnya dibayar dengan keringat rakyat. Ketika uang itu rampok melalui modus perdis fiktif, maka sejatinya rakyatlah yang dirampok.
Beda perampok jalanan dengan perampok berdasi hanya terletak pada caranya. Perampok jalanan menghunus senjata, sedangkan perampok berdasi menghunus kwitansi palsu. Dampaknya sama, uang rakyat hilang, pembangunan terhambat, dan keadilan sosial diinjak-injak.
Tanggung Jawab Etis dan Hukum
Dugaan ini tidak bisa dibiarkan menguap begitu saja. Aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Negeri Boalemo harus mengambil langkah tegas. Audit mendalam terhadap perjalanan dinas DPRD Boalemo wajib dilakukan.
Selain tanggung jawab hukum, ada pula tanggung jawab etis yang melekat pada anggota DPRD. Jika ada yang terbukti melakukan manipulasi, maka sudah sepatutnya mereka mundur dari jabatannya. Sebab, bagaimana mungkin seseorang yang terlibat dalam perampokan uang negara masih pantas disebut “wakil rakyat”?
Kasus perdis fiktif dan TGR makan minum ini menunjukkan bahwa DPRD Boalemo masih terjebak dalam politik anggaran yang feodal. Alih-alih memperjuangkan program strategis untuk rakyat, anggaran lebih sering dilihat sebagai bancakan. Mentalitas “yang penting dapat bagian” masih mengakar kuat.
Padahal, DPRD seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawasi eksekutif, memastikan setiap rupiah anggaran digunakan untuk kepentingan publik. Namun, ketika DPRD sendiri yang terjebak dalam praktik manipulatif, maka fungsi check and balance berubah menjadi formalitas belaka.
Opini ini bukan sekadar kritik, melainkan alarm moral bagi seluruh rakyat Boalemo. Demokrasi tidak boleh dibajak oleh segelintir orang yang mengaku wakil rakyat tetapi sesungguhnya perampok uang negara.
Rakyat harus berani bersuara, media harus berani mengawal, dan aparat hukum harus berani bertindak. Diam dalam menghadapi dugaan perdis fiktif sama saja membiarkan uang rakyat dirampok secara legal.