Oleh: Nanang Syawal
Poota.id – Ada satu kata yang paling sering dipakai oleh pejabat kita di Boalemo saat bicara anggaran, yakni efisiensi. Kata ini begitu manis, seolah menjadi mantra suci dalam setiap rapat, setiap pidato, setiap lembar dokumen APBD. Namun, faktanya, “efisiensi” itu berhenti hanya di atas kertas.
Mari kita bicara KUA-PPAS. Dokumen ini seharusnya menjadi fondasi arah pembangunan daerah, memutuskan kemana uang rakyat akan dibawa. Tapi ironinya, pembahasan KUA-PPAS justru digelar di luar daerah. Alasannya klasik, suasana lebih kondusif, lebih fokus, dan lebih efektif. Namun rakyat Boalemo sudah cukup cerdas untuk tahu, alasan sesungguhnya tidak sesederhana itu.
Biaya perjalanan, akomodasi hotel, fasilitas rapat, hingga transportasi pejabat dan pendampingnya pasti lebih tinggi dibanding membahasnya di Tilamuta sendiri. Bagaimana mungkin berbicara soal penghematan kalau praktiknya justru membuka keran pemborosan?
Dan di sini masalahnya makin kompleks. Boalemo sedang dihantam berbagai isu sensitif:
1. Kasus perjalanan dinas DPRD yang dinilai fiktif oleh BPK, dan proses hukumnya sedang jalan di tempat di Kejaksaan Negeri Boalemo.
2. Videotron raksasa yang berdiri megah di atas aset daerah, memaksa identitas Boalemo tergeser demi “kemewahan visual”.
3. Kisruh penunjukan Plt Direktur RSUD drg. Clara Gobel, yang sarat aroma intervensi kekuasaan.
Dan jangan lupa, jejak korupsi di Bank SulutGo Tilamuta dengan kerugian Rp37 miliar.
Semua itu terjadi di satu kabupaten kecil, dengan APBD yang tidak seberapa. Maka, ketika DPRD dan Pemda memutuskan membahas KUA-PPAS di luar daerah, publik wajar bertanya, “Apakah ini soal pembangunan Boalemo, atau sekadar pembangunan hotel-hotel di luar Boalemo?”
Saya pernah mendengar satu kalimat getir dari seorang pedagang ikan di pasar Tilamuta. “Mereka bukan sedang membahas masa depan daerah, mereka sedang membahas masa depan kamar hotelnya.”
Kalimat itu tajam, tapi sayangnya terasa benar. Kita tidak bisa terus-menerus menutup mata. Dalam satu sisi mereka bicara penghematan, di sisi lain mereka melanggengkan pola lama: menguras APBD demi kenyamanan birokrasi.
Jika benar pembahasan KUA-PPAS di luar daerah itu demi rakyat, Pemda dan DPRD Boalemo seharusnya berani membuka seluruh rincian anggarannya. Tunjukkan transparansi. Berapa yang dihabiskan, apa yang dibahas, dan apa manfaat langsungnya untuk masyarakat.
Kalau ini tidak dilakukan, maka jargon “efisiensi” hanyalah bedak tebal untuk menutupi wajah bopeng birokrasi.
Dan sekarang, mari kita bicara terus terang. Boalemo tidak kekurangan uang, Boalemo kekurangan kejujuran. Boalemo bukan gagal karena APBD kecil, tapi karena sebagian pejabatnya lebih sibuk memikirkan kenyamanan pribadi daripada kepentingan publik.
Maka, kita, rakyat Boalemo, punya dua pilihan:
1. Diam dan menonton uang kita dihabiskan dalam rapat-rapat mewah di luar daerah.
2. Bersuara dan menuntut transparansi, menagih janji efisiensi, serta menolak pemborosan yang dibungkus rapat-rapat “resmi”.
Saya pribadi memilih opsi kedua. Dan jika Pemda maupun DPRD Boalemo masih bersikeras menyebut ini “efisiensi”, maka bukalah angkanya, sekarang juga, di depan publik.
Kalau mereka berani, rakyat akan percaya.
Kalau mereka bungkam, rakyat sudah tahu jawabannya.
Boalemo butuh keadilan anggaran, bukan sekadar janji. Boalemo butuh pemimpin yang bekerja di sini, bukan berlibur di luar sana. (*)