Kapolda Gorontalo Harus Bertanggung Jawab: Wajah Buram Institusi Polri dalam Konflik Tambang Boalemo dan Pohuwato

Ilustrasi
Penulis: Fadli Thalib

Poota.id, Tajuk – Konflik pertambangan ilegal yang terus membara di dua wilayah penting Provinsi Gorontalo (Boalemo dan Pohuwato) semakin menunjukkan betapa rapuhnya penegakan hukum di daerah ini. Kejadian demi kejadian yang mencoreng integritas hukum, termasuk pembakaran Kantor Bupati Pohuwato pada tahun 2023, menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap sistem yang dinilai tidak adil. Namun, dari semua kegaduhan tersebut, satu institusi negara yang terus menjadi sorotan adalah Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo. Di tengah pusaran konflik ini, Kapolda Gorontalo sebagai pemegang kendali tertinggi penegakan hukum di wilayahnya, tidak bisa lagi berdiri di balik dinding diam.

Polda Gorontalo di Tengah Pertambangan Ilegal: Penonton atau Pemain?

Pertanyaan paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa sebenarnya posisi institusi Polri (Polda Gorontalo) dalam konflik pertambangan ilegal ini? Publik tak bisa lagi menutup mata bahwa ada banyak indikasi keterlibatan oknum-oknum polisi dalam melindungi aktivitas tambang ilegal. Di Boalemo dan Pohuwato, masyarakat kerap menyaksikan aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru terlihat ambigu, bahkan terkesan melindungi pihak-pihak pemilik modal.

Namun, di tengah kelamnya citra penegakan hukum, patut diakui bahwa masih ada aparat kepolisian yang menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah Kapolres Boalemo yang telah mengambil langkah berani dengan melakukan penertiban terhadap aktivitas pertambangan ilegal di wilayah hukumnya. Langkah ini menunjukkan bahwa masih ada harapan dalam tubuh Polri untuk menegakkan hukum dengan berpihak pada kepentingan publik.

Sayangnya, inisiatif Kapolres Boalemo tersebut justru mendapat perlawanan terbuka. Beberapa pelaku tambang ilegal bahkan mendatangi Mapolres Boalemo untuk mempertanyakan legalitas Sprint penindakan tambang ilegal. Situasi ini memperlihatkan bagaimana upaya penegakan hukum bisa dilemahkan jika tidak mendapat dukungan penuh dari institusi di atasnya, terutama dari Polda Gorontalo.

Tebang Pilih dalam Penindakan Hukum

Salah satu akar permasalahan yang memicu konflik berkepanjangan ini adalah tindakan hukum yang diskriminatif alias tebang pilih. Ini bukan sekadar asumsi masyarakat, tetapi fakta yang bisa dilihat dari bagaimana proses hukum dijalankan. Dalam beberapa pekan terakhir, Polda Gorontalo menetapkan tiga penambang rakyat sebagai tersangka di Dusun Sambati, Kecamatan Dulupi. Namun anehnya, pengusaha yang membiayai aktivitas tersebut justru bebas berkeliaran.

Pertanyaan kritis yang muncul adalah mengapa aparat penegak hukum selalu menyasar penambang kecil, tetapi enggan menyentuh para pemilik modal? Apakah ini bagian dari sandiwara penegakan hukum untuk menunjukkan bahwa aparat bekerja, sementara sesungguhnya hanya rakyat kecil yang dikorbankan?

Jika memang institusi Polri (Polda Gorontalo) serius menegakkan hukum, maka mestinya para cukong dan pemilik tambang besar yang menjadi dalang pertambangan ilegal juga ditindak secara tegas. Namun jika mereka dibiarkan, maka sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa Polri sedang bermain mata dengan pelaku tambang ilegal.

Baca Juga :  Jamaah Haji Rugi Miliyaran, Aleg MY Diduga Menipu Jamaah, DPRD dan PKS Bungkam, Polda Diam

Ironisnya, masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya di pertambangan justru menjadi korban dari konflik ini. Mereka bukan mafia tambang, bukan pengusaha rakus, melainkan warga biasa yang mencari sesuap nasi. Menyeret mereka ke ranah hukum tanpa menindak aktor utama adalah bentuk kekejaman struktural yang dibungkus dengan dalih hukum.

Penjara bukan tempat bagi rakyat miskin yang mencoba bertahan hidup, sementara pelaku utama justru bertransaksi dengan oknum aparat. Jika Polri ingin kembali dipercaya rakyat, maka keadilan harus ditegakkan secara menyeluruh, bukan tebang pilih.

Dugaan Bekingan Aparat: Fakta atau Fitnah?

Pernyataan kontroversial Marten Yosi Basaur, seorang pelaku usaha tambang ilegal yang menyebut adanya setoran kepada oknum pejabat Polda Gorontalo, bukan bisa langsung disangkal begitu saja. Apalagi jika melihat realitas di lapangan yang menggambarkan pembiaran sistemik terhadap aktivitas tambang ilegal besar-besaran di wilayah Boalemo dan Pohuwato. Keterangan ini tentu perlu diklarifikasi secara hukum, bukan dibungkam melalui pembingkaian isu di media.

Jika dugaan Marten Yosi benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tetapi sudah masuk ke ranah korupsi terorganisir dalam tubuh Polri. Bukan tidak mungkin, selama ini aktivitas tambang ilegal berjalan mulus karena mendapat perlindungan dari dalam. Dan jika itu benar, maka wajah institusi Polri telah ternoda oleh kepentingan ekonomi kotor.

Kapolda Gorontalo Harus Bertanggung Jawab

Sebagai pucuk pimpinan tertinggi Polda Gorontalo, Kapolda tidak bisa lagi bersembunyi di balik struktur birokrasi dan membiarkan opini publik berkembang liar. Ketika konflik tambang makin brutal, ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi Polri akan terus tumbuh. Dalam kondisi seperti ini, tanggung jawab moral dan institusional berada di pundak Kapolda.

Pembersihan Internal – Kapolda harus melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan keterlibatan oknum dalam membekingi tambang ilegal. Tidak cukup dengan pernyataan “akan ditindak,” tetapi perlu transparansi dalam proses hukum terhadap aparat sendiri.

Keadilan dalam Penindakan – Penindakan terhadap pelaku tambang ilegal tidak boleh diskriminatif. Kapolda harus memastikan bahwa pengusaha tambang besar juga ditindak, bukan hanya penambang rakyat.

Dukungan terhadap Kapolres yang Tegas – Tindakan Kapolres Boalemo yang sudah melakukan upaya penertiban seharusnya mendapat dukungan penuh dari atasannya. Tanpa dukungan struktural, upaya tersebut akan sia-sia dan bahkan bisa memunculkan risiko keselamatan bagi aparat yang berani bertindak.

Restorasi Kepercayaan Publik – Tanpa upaya nyata untuk memperbaiki integritas institusi, maka kepercayaan publik terhadap Polri di Gorontalo akan runtuh. Kapolda harus hadir di tengah rakyat, bukan bersembunyi di balik tembok institusi.

Konflik Tambang dan Krisis Hukum di Gorontalo

Baca Juga :  GRIB Jaya Temui Polda Gorontalo: Komitmen Jaga Keamanan dan Harmonisasi Lembaga

Kasus tambang ilegal di Gorontalo bukan sekadar persoalan lingkungan atau ketertiban, tetapi menjadi cermin dari krisis hukum yang akut. Ketika hukum menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil, dan sekaligus pelindung bagi pemilik modal, maka negara telah gagal dalam fungsi dasarnya. Dan dalam kasus ini, Polri, melalui Polda Gorontalo, ikut andil dalam membangun sistem ketidakadilan tersebut.

Namun dalam keretakan sistem ini, tindakan-tindakan seperti yang dilakukan Kapolres Boalemo menjadi pengecualian yang harus diapresiasi dan diperkuat. Tanpa dukungan terhadap figur-figur berintegritas, Polri akan terus kehilangan kepercayaan publik.

Pada Akhirnya

Apa yang terjadi di Boalemo dan Pohuwato bukan hanya urusan Gorontalo. Ini adalah potret kecil dari bagaimana institusi negara bisa menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Jika pembiaran terhadap tambang ilegal dan pelanggaran hukum oleh aparat terus dibiarkan, maka citra Polri secara nasional juga akan tergerus.

Masyarakat harus melihat konflik ini sebagai peringatan dini akan rusaknya sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia. Dan publik harus mulai menuntut pertanggungjawaban yang jelas dari pejabat kepolisian, tidak hanya di Gorontalo, tetapi juga dari Mabes Polri.

Audit Independen – Lembaga seperti Komnas HAM, Kompolnas, atau bahkan KPK perlu turun tangan melakukan audit penanganan tambang ilegal di Gorontalo secara independen.

Evaluasi Kinerja Kapolda – Kapolri harus mengevaluasi secara menyeluruh kinerja Kapolda Gorontalo dalam menangani tambang ilegal. Jika perlu, ganti dengan pemimpin yang mampu bertindak tegas.

Transparansi Penegakan Hukum – Proses hukum harus dibuka ke publik. Siapa yang ditangkap? Siapa yang dilindungi? Jangan biarkan kebenaran dikaburkan oleh propaganda institusi.

Perlindungan bagi Aparat yang Berani Bertindak – Kapolres atau anggota Polri lainnya yang menunjukkan integritas dalam penegakan hukum harus dilindungi dan diberi penghargaan, bukan diabaikan.

Konflik tambang di Boalemo dan Pohuwato adalah sinyal serius bahwa penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami kegagalan struktural. Di tengah kegagalan ini, institusi Polri khususnya Polda Gorontalo tidak bisa lagi terus menutup diri dari kritik. Sudah waktunya Kapolda Gorontalo bertanggung jawab, bukan hanya kepada atasannya di Mabes, tetapi juga kepada rakyat yang selama ini terpinggirkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *