Opini  

Keterwakilan Perempuan di DPRD Gorontalo, Bukan Sekadar Kuota

Oleh: Ayun Mansou (Aktivis Perempuan) 

Poota.id, Opini – Kebijakan afirmasi politik perempuan melalui kuota 30 persen seringkali dipandang hanya sebagai syarat formal pencalonan legislatif. Namun, apakah cukup perempuan hanya hadir sebagai “angka” dalam daftar calon, tanpa memastikan suara mereka benar-benar terdengar di lembaga legislatif seperti DPRD Provinsi Gorontalo?

Perempuan Bukan Sekadar Pelengkap Kuota

Keterwakilan perempuan semestinya tidak berhenti pada syarat pencalonan. Kuota hanyalah jalan masuk, bukan tujuan akhir. Tujuan sejatinya adalah menghadirkan perspektif dan kepentingan perempuan ke dalam kebijakan daerah.

Dalam konteks Gorontalo, isu-isu strategis seperti akses pendidikan, kesehatan ibu dan anak, perlindungan pekerja perempuan, hingga pemberdayaan ekonomi keluarga adalah persoalan nyata yang seharusnya dibawa ke meja DPRD. Tanpa keberanian anggota dewan perempuan memperjuangkannya, maka keterwakilan hanya tinggal slogan.

Suara Perempuan = Politik yang Lebih Inklusif

Pengalaman hidup perempuan memberi perspektif berbeda dalam pengambilan keputusan. Mereka bukan sekadar pelengkap komposisi dewan, melainkan penguat demokrasi. Tanpa suara perempuan, politik daerah akan timpang dan cenderung bias pada kepentingan kelompok dominan.

Baca Juga :  Sosiologi Bencana di Gorontalo: Sejarah Gempa, Peringatan Tsunami, dan Lelucon yang Beresiko

Seorang aktivis perempuan Gorontalo pernah menegaskan:
“Perempuan bukan sekadar angka di daftar calon. Mereka adalah suara nyata masyarakat yang membawa pengalaman berbeda. Jika hanya dianggap formalitas, maka makna demokrasi akan berkurang.”

Pernyataan ini menohok: apalah artinya kuota tanpa substansi?

Tanggung Jawab Moral DPRD Gorontalo

DPRD Provinsi Gorontalo tidak boleh memandang keterwakilan perempuan hanya sebagai kewajiban administratif. Mereka punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kehadiran perempuan benar-benar mewarnai arah kebijakan, bukan sekadar memenuhi laporan.

Ketika perempuan duduk di kursi dewan namun bungkam terhadap isu-isu kesetaraan, maka publik akan bertanya: untuk apa kursi itu diberikan? Di sinilah pentingnya keberanian, integritas, dan konsistensi perempuan di panggung politik lokal.

Baca Juga :  Wahyudin Disapu, Mustafa Dibiarkan: Standar Ganda Etika Politik di DPRD Provinsi Gorontalo

Menuju Politik yang Adil Gender

Harapan publik jelas: politik Gorontalo harus lebih inklusif, adil, dan sensitif terhadap kebutuhan semua warganya. Keterwakilan perempuan di DPRD harus diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata, bukan hanya simbol.

Politik inklusif bukanlah wacana, melainkan kebutuhan. Saat suara perempuan benar-benar diakomodasi, maka demokrasi Gorontalo akan lebih sehat dan berkeadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *