Penulis: Fadli Thalib
Poota.id, Tajuk – Kenaikan anggaran DPRD Boalemo dalam APBD 2025 menjadi Rp12,3 miliar kembali menohok rasa keadilan rakyat. Di saat pemerintah daerah menyerukan efisiensi, para wakil rakyat justru menambah porsi belanja untuk gaji dan tunjangan mereka. Ironi ini semakin mencolok jika dibandingkan dengan nasib para pegawai pemerintah daerah yang kerap menunggu Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) karena alasan klasik: keterbatasan anggaran.
Berdasarkan dokumen APBD, pos belanja DPRD Boalemo awalnya direncanakan Rp11,93 miliar. Namun, angka tersebut bertambah Rp372 juta, sehingga totalnya membengkak menjadi Rp12,30 miliar. Secara administrasi, tentu sah. Tetapi secara moral, keputusan ini menyisakan tanda tanya besar: untuk siapa sebenarnya DPRD bekerja?

Mereka (Pegawai) yang Terabaikan
Di satu sisi, pegawai pemerintah daerah yang setiap hari menjadi garda terdepan pelayanan publik sering kali harus bersabar menunggu Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) mereka. Alasannya selalu sama: efisiensi anggaran, keterbatasan kas daerah, atau alasan teknis lain yang intinya bermuara pada satu hal, hak pegawai tidak bisa dibayar tepat waktu.
Padahal, merekalah yang memastikan program pemerintah benar-benar berjalan. Mereka adalah garda terdepan yang memastikan program dan pelayanan publik berjalan. Guru yang mengajar di sekolah, perawat dan dokter yang melayani di puskesmas, staf administrasi di dinas-dinas, hingga aparat di kecamatan yang melayani rakyat kecil, merekalah yang bekerja langsung untuk kepentingan masyarakat. Tanpa pegawai, kebijakan bupati, program pemerintah, dan visi pembangunan hanya akan menjadi dokumen indah tanpa pelaksanaan nyata.
TPP yang seharusnya menjadi bentuk penghargaan atas kinerja mereka, tidak jarang ditunda pembayarannya. Alasan yang muncul hampir selalu sama, efisiensi anggaran. Ironisnya, kata efisiensi tidak pernah menyentuh DPRD. Para wakil rakyat malah mendapat tambahan alokasi untuk gaji dan tunjangan, seolah-olah mereka bekerja tanpa henti untuk kepentingan rakyat.
Pertanyaannya, mengapa efisiensi hanya berlaku untuk pegawai, bukan untuk DPRD? Bukankah para pegawai justru lebih nyata menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari dibanding anggota dewan yang lebih sering duduk di ruang rapat?
TPP dan Tunjangan Wakil: Mana yang Lebih Penting?
Keputusan menaikkan anggaran DPRD Boalemo adalah tamparan keras bagi rakyat yang masih percaya bahwa dewan adalah lembaga representasi dari rakyat. Wakil rakyat seharusnya menjadi teladan, menunjukkan empati, dan memperjuangkan keadilan anggaran. Namun, yang terlihat justru sebaliknya. DPRD lebih sibuk memperjuangkan kesejahteraan pribadinya ketimbang kepentingan publik.
Fenomena ini menunjukkan jurang perbedaan antara klaim sebagai “wakil rakyat” dan praktik nyata di lapangan. Wakil rakyat seharusnya menjadi teladan dalam hal pengorbanan dan empati terhadap rakyat. Namun, yang terlihat justru sebaliknya, mereka sibuk memperjuangkan kesejahteraan pribadi.
Di Boalemo mungkin tidak ada aksi demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi di Jakarta dan dibeberapa daerah lainnya yang berujung pembakaran kantor DPRD. Tetapi jangan salah, ketiadaan demo bukan berarti rakyat Boalemo menerima begitu saja keputusan DPRD. Kekecewaan tetap ada, hanya saja tidak semua masyarakat memiliki ruang dan keberanian untuk bersuara lantang.
Jika DPRD benar-benar ingin memperjuangkan rakyat, seharusnya prioritas mereka adalah memastikan TPP pegawai dibayar tepat waktu, memastikan layanan publik berjalan maksimal, dan memastikan masyarakat kecil tidak terbebani dengan dalih efisiensi. DPRD seharusnya berdiri di garis depan dalam menolak ketidakadilan alokasi anggaran, bukan malah menjadi bagian dari pihak yang menikmatinya.
Anggaran adalah cermin keberpihakan. Kenaikan tunjangan DPRD di tengah tertundanya TPP pegawai hanya menunjukkan satu hal, keberpihakan lebih condong ke kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.
Akhirnya
Kenaikan anggaran DPRD Boalemo menjadi Rp12,3 miliar adalah alarm. Rakyat harus melakukan pengawasan lebih ketat terhadap para wakil rakyat. Jangan sampai DPRD hanya hadir lima tahun sekali saat pemilu, sementara di luar itu sibuk menambah kenyamanan untuk dirinya sendiri.
Apalagi, kenaikan anggaran ini terjadi di tengah sorotan dugaan kasus perjalanan dinas fiktif (SPPD fiktif) yang kini sedang ditangani Kejaksaan Negeri Boalemo. Kasus tersebut diduga merugikan keuangan daerah dan menodai citra lembaga legislatif.
Seharusnya DPRD menunjukkan sikap rendah hati, menahan diri, bahkan memangkas pos anggaran non-prioritas. Bukannya malah menambah alokasi belanja gaji dan tunjangan seolah tak terjadi apa-apa.