Tambang Emas di Gorontalo: Antara Rakyat, Ketimpangan Hukum dan Pelanggaran HAM

Ilustrasi
Penulis: Fadli Thalib 

Poota.id, Tajuk – Pertambangan emas menjadi salah satu sektor vital dalam struktur ekonomi nasional maupun daerah. Di Gorontalo, potensi tambang emas yang besar telah menarik banyak perhatian, baik dari perusahaan besar maupun masyarakat lokal. Namun, yang luput dari sorotan utama adalah ketimpangan perlakuan hukum antara penambang rakyat dan pemodal besar dalam praktik pertambangan emas tanpa izin atau PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin).

Pertambangan emas di Indonesia, khususnya di daerah-daerah kaya sumber daya seperti Gorontalo, menyisakan cerita panjang tentang ketimpangan, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ironisnya, pihak yang paling sering menjadi korban dari sistem yang timpang ini adalah masyarakat penambang kecil atau yang dikenal sebagai penambang rakyat.

Mereka yang menggantungkan hidup pada tambang emas tanpa izin (PETI), sering kali dikriminalisasi, dicap sebagai perusak lingkungan, bahkan ditangkap di tanahnya sendiri. Padahal dalam konstitusi dan doktrin HAM internasional, setiap orang memiliki hak untuk hidup, bekerja, dan mencapai kesejahteraan ekonomi.

Rakyat: Mengais Emas di Tanah Sendiri, Ditangkap di Negeri Sendiri

Satu ironi besar yang kerap terjadi di Gorontalo adalah penambang rakyat yang ditangkap karena menambang emas di atas tanahnya sendiri. Mereka bukan penyerobot, bukan pencuri, bukan pelanggar batas administrasi wilayah. Mereka hanya ingin hidup layak dari tanah leluhurnya, namun justru dihukum karena tak memiliki izin resmi.

Dalam konteks HAM, hal ini mencederai Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan tempat tinggal. Penambang rakyat menambang bukan untuk kekayaan, melainkan untuk bertahan hidup.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa negara justru hadir sebagai aparat represi. Satuan tugas, aparat kepolisian, bahkan militer, diturunkan untuk menutup lokasi tambang rakyat. Ini menciptakan ketakutan, kehilangan mata pencaharian, dan trauma sosial di tengah masyarakat kecil yang hanya ingin hidup.

Pemerintah kerap menyarankan agar masyarakat menambang secara legal dengan mengurus Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun, kenyataan tak seindah wacana. Proses pengurusan WPR sangat lamban, birokratis, dan menyita waktu bertahun-tahun. Setelah WPR terbit, masyarakat masih harus mengurus IPR yang pastinya tetap memakan biaya mahal.

Bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan ekonomi, mimpi mengurus izin ini nyaris mustahil. Sementara itu, perusahaan besar yang memiliki modal dan akses politik justru lebih mudah mendapatkan WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) dan IUP (Izin Usaha Pertambangan). Negara seolah menjual legalitas kepada yang mampu membayar.

Inilah wajah ketidakadilan struktural yang memperlihatkan bahwa hukum bekerja secara selektif. Undang-undang seharusnya menjamin keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural. Jika hanya pemodal besar yang bisa memperoleh izin karena mampu membayar, maka negara telah gagal dalam menghapus diskriminasi ekonomi dalam regulasi pertambangan.

Hak Asasi Manusia yang Luput

Perusahaan besar kerap dianggap legal karena telah memiliki IUP. Namun, legalitas administratif tidak serta-merta membebaskan mereka dari tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Salah satu argumen klasik pemerintah dan aparat ketika menindak penambang rakyat adalah soal kerusakan lingkungan. Mereka mengklaim bahwa pertambangan emas tanpa izin merusak sungai, tanah, dan ekosistem. Tentu saja, tidak semua aktivitas PETI berjalan secara ramah lingkungan. Namun, penting ditegaskan bahwa skala kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang jauh lebih sistemik dan destruktif.

Baca Juga :  Surat Cinta untuk Kaum Rebahan

Di beberapa wilayah Gorontalo seperti Pohuwato dan Bone Bolango, masuknya perusahaan tambang emas tentu menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan, pencemaran air, longsor, kerusakan hutan lindung, hingga konflik sosial. Namun, pelanggaran lingkungan oleh korporasi besar ini tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM oleh negara.

Di sinilah wajah ketimpangan itu terlihat sangat jelas. Ketika rakyat kecil merusak satu dua hektar lahan, mereka diburu aparat. Tetapi ketika korporasi merusak ribuan hektar hutan dan mengancam nyawa masyarakat lokal, mereka justru diberi penghargaan sebagai investor strategis.

Padahal negara sudah menjamin khususnya hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sayangnya, ketika perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan, negara cenderung diam. Tidak ada penangkapan, tidak ada proses hukum yang tegas seperti yang dialami penambang rakyat.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai pelindung keadilan. Negara seharusnya bersikap netral dan tegas terhadap siapa pun yang melakukan pelanggaran, baik rakyat kecil maupun pemodal besar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Diskriminasi Struktural: Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikorbankan?

Diskriminasi terhadap penambang rakyat bukan hanya persoalan hukum, tapi juga persoalan struktural dan sistemik. Negara dalam praktiknya lebih memihak pada investasi skala besar ketimbang ekonomi rakyat. Semua bentuk kemudahan diberikan kepada pemilik modal. Sementara rakyat, dipaksa tunduk pada sistem yang menyingkirkan mereka dari sumber daya.

Di banyak lokasi tambang misalnya Pohuwato, warga terpaksa mengalah ketika perusahaan datang. Mereka tidak punya kekuatan untuk menolak, dan jika pun melawan, mereka akan dihadapkan pada aparat hukum. Ini bukan sekadar perampasan ruang hidup, tapi juga bentuk pelanggaran HAM yang sistemik. Penambang rakyat kehilangan akses terhadap tanah, air, udara, dan masa depan.

Padahal, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus dijalankan dalam setiap aktivitas ekstraktif (masyarakat lokal harus terlibat dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumber daya alamnya). Namun di Indonesia, prinsip ini sering diabaikan. Warga tidak pernah benar-benar diajak bicara secara adil dan setara sebelum tambang besar beroperasi. Ketika konflik terjadi, aparat hadir bukan sebagai penengah, melainkan sebagai pelindung perusahaan.

Legalitas yang tak memiliki Legitimasi

Sering kali negara berdalih bahwa yang dilakukan perusahaan adalah legal karena sudah memiliki izin. Namun perlu ditegaskan, legalitas tidak selalu identik dengan legitimasi. Sebuah aktivitas bisa saja legal, tetapi tidak memiliki legitimasi sosial jika dijalankan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat.

Inilah yang membedakan antara hukum positif dan keadilan substantif. Penambang rakyat memang tidak memiliki legalitas formal, tetapi mereka memiliki legitimasi sosial dan historis. Mereka telah turun-temurun mengelola tambang secara tradisional, bahkan sebelum negara hadir dengan regulasi yang rumit dan mahal.

Sebaliknya, perusahaan tambang yang datang dengan izin resmi belum tentu sah secara moral dan sosial jika kehadirannya merusak lingkungan, memicu konflik sosial, dan mengorbankan masyarakat. Negara seharusnya tidak hanya menjadi penjaga hukum, tetapi juga penjaga keadilan.

HAM dan Keadilan dalam Demokrasi

Jika HAM dijadikan tolok ukur, maka negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar warga negara. Dalam konteks pertambangan emas, negara seharusnya memastikan bahwa masyarakat, terutama penambang kecil, memiliki akses terhadap sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.

Baca Juga :  Luka Yang Tak Pernah Diminta

Hak untuk bekerja, hak untuk hidup layak, hak atas tanah, dan hak atas lingkungan hidup adalah bagian integral dari HAM. Ketika negara membiarkan ketimpangan antara penambang rakyat dan pemodal besar, itu sama artinya dengan pelanggaran HAM.

Apalagi jika penindakan hukum terhadap PETI hanya menyasar penambang kecil dan membiarkan perusahaan tambang besar beroperasi bebas tanpa pengawasan ketat. Ini menunjukkan bahwa negara belum benar-benar menjalankan prinsip keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam.

Jalan Tengah Reforma Pertambangan

Keadilan dalam pertambangan hanya bisa tercapai jika ada reformasi menyeluruh dalam regulasi dan kebijakan pertambangan. Negara harus membuka ruang legalisasi bertahap bagi penambang rakyat. Pemetaan lokasi tambang rakyat perlu dilakukan dan dilanjutkan dengan pemberian izin sementara atau transisi menuju legalitas penuh.

Pemerintah daerah dan pusat harus memangkas proses perizinan yang berbelit. WPR dan IPR harus bisa diakses dengan biaya murah, cepat, dan transparan, khususnya bagi masyarakat lokal.

Untuk sementara, hentikan pemberian WIUP dan IUP baru sampai ada audit menyeluruh terhadap dampak sosial dan lingkungan dari perusahaan tambang yang sudah beroperasi. Penindakan hukum harus mengedepankan pendekatan restoratif. Jangan buru-buru menangkap penambang kecil, tetapi arahkan dan bantu mereka menuju legalitas sambil tetap menjalankan aktivitas tambangnya.

Penguatan Hak Asasi Manusia dalam Kebijakan Pertambangan. Setiap regulasi pertambangan harus mengandung perspektif HAM secara eksplisit, dan ada lembaga independen yang mengawasi implementasinya.

Selain itu, Rakyat berhak menyuarakan kehendaknya melalui referendum tambang. Referendum adalah mekanisme demokrasi langsung. Dalam konteks Gorontalo, rakyat harus diberikan hak untuk menentukan sendiri apakah mereka ingin wilayahnya dijadikan area tambang korporasi, atau ingin mengelola sendiri sumber daya alamnya secara kolektif.

Referendum bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi bentuk restorasi kedaulatan rakyat atas tanah dan sumber daya alamnya sendiri. Referendum tambang bisa menjadi jalan tengah antara ketimpangan kebijakan dan semangat demokrasi ekonomi di Gorontalo.

Akhirnya…

Pertambangan emas di Gorontalo adalah potret ketimpangan hukum dan pelanggaran HAM yang nyata. Penambang rakyat ditindas, perusahaan besar dilindungi. Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai pelayan kapital. Ini harus dihentikan.

HAM bukan sekadar wacana dalam pidato dan dokumen negara. Ia harus hidup dalam kebijakan, hukum, dan tindakan nyata. Jika tidak, maka demokrasi kita hanya akan jadi panggung sandiwara, dan tambang akan terus menjadi ladang luka bagi rakyat kecil.

Sudah saatnya negara berpihak kepada yang lemah. Penambang rakyat bukan kriminal. Mereka adalah korban sistem yang timpang. Maka biarkan mereka menambang dengan adil, hidup dengan layak, dan menikmati tanah air mereka sendiri, bukan jadi tamu yang diusir dari rumahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *